Penyerapan Aspirasi Rakyat Rendah dari Anggota DPR

Penyerapan Aspirasi Rakyat Rendah oleh Anggota DPR berdampak luas terhadap kepercayaan publik

Jayadi Sirun

10/17/20253 min read

Penyerapan Aspirasi Rakyat DPR Rendah

Penelitian Indonesia Parliamentary Center (IPC) yang dipublikasikan di media elektronik pada masa sidang I–IV tahun pertama 2025, DPR periode 2024–2029, ditemukan ketimpangan signifikan dalam penyerapan aspirasi oleh anggota DPR yang rendah. Meskipun masyarakat telah menyampaikan aspirasi paling banyak 556 aspirasi, diikuti pengusaha 309 aspirasi, dan akademisi 209 aspirasi. Tingkat penyerapan aspirasi dari unsur pengusaha justru paling tinggi sekitar 97%, ini menimbulkan pertanyaan bagi rakyat. Di sisi lain, dana reses DPR mengalami kenaikan dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta per Oktober 2025. Justifikasi kenaikan dengan alasan terjadi penambahan indeks dan titik di daerah pemilihan yang tentu saja meningkatkan dana aspirasi.

Analisis Masalah

Ketimpangan Representasi

Aspirasi Masyarakat sebanyak 556 aspirasi disampaikan, 300 tidak terserap (tingkat penyerapan rendah), Akademisi 209 aspirasi disampaikan, 110 tidak terserap dan pengusaha sebanyak 309 aspirasi disampaikan, 300 terserap (97%). Fakta ini menunjukkan bahwa DPR cenderung lebih responsif terhadap aspirasi pengusaha dibandingkan dengan kelompok masyarakat umum dan akademisi. Kemungkinan sda beberapa Faktor penyebabnya diantaranya Faktor akses dan kedekatan anggota DPR ke Pengusaha melalui jaringan politik dan bisnis. Pengusaha memiliki kapasitas finansial dan nonfinansial yang dapat dengan mudah digunakan untuk mempengaruhi legislative dan Prioritas politik anggota DPR mungkin lebih memprioritaskan isu-isu yang berdampak langsung pada ekonomi dan investasi, atau yang didukung oleh sumber daya politik yang kuat.

Kajian Teoritis

Teori Elitisme Politik (Mills, 1956) menjelaskan bagaimana kelompok elit (pengusaha), penguasa dan DPR memiliki cenderung mendominasi proses politik dan ekonomi melalui akses dan pengaruh yang mereka miliki. Pada titik ini mereka akan menggunakan pengaruhnya masing-masing sedemikian para pihak memperoleh keuntungan jangka pendek dan Panjang.

Konsep Representasi (Pitkin, 1967), pada konsep in menekankan bahwa masing-masing dari mereka para penguasa merupakan representasi bukan hanya tentang formalitas tetapi tentang responsivitas terhadap berbagai isu yang berhubungan langsung dengan kepentingannya, alih-alih kepentingan kelompok Masyarakat kelas bawah.

Transparansi dan Akuntabilitas

Dana Aspirasi yang mengalami peningkatan, tidak secara langsung dapat dinikmati oleh rakyat, tetapi lebih banyak digunakan untuk menyerap aspirasi pengusaha pengusaha. Energi yang sangat jelas, kurangnya transparansi pengguna dana aspirasi oleh anggota dewan, tidak mudah diakses oleh public, sehingga memanfaatkan dan pertanggung jawaban penggunaan dana takut selama races sulit dikontrol. Tanpa transparansi, maka sulit bagi publik untuk memantau apakah dana reses, apakah digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat atau justru untuk kepentingan kelompok tertentu yang menguntungkan anggota dewan dan kelompoknya. Transparency International (2023) dalam laporan Indeks Persepsi Korupsi menekankan pentingnya transparansi anggaran legislatif untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Hasil Studi Perludem (2024) tentang akuntabilitas Anggaran DPR menunjukkan hubungan positif antara transparansi penggunaan dana reses dengan tingkat kepercayaan publik. Dengan demikian dapat disimpulkan, kurangnya transparansi dalam penggunaan anggaran dana aspirasi untuk menyerap aspirasi rakyat sangat sulit untuk mewujudkan akuntabilitas yang paripurna. Kenaikan dana reses menjadi Rp 702 juta per anggota DPR seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas penyerapan aspirasi, data menunjukkan tidak berkorelasi dengan peningkatan representasi aspirasi Masyarakat.

Analisis Dampak

Lemahnya penyerapan aspirasi rakyat oleh anggota dewan dapat menurunkan kepercayaan public, ini akan berdampak buruk terhadap penurunan kepercayaan terhadap institusi DPR sebagai representasi rakyat. Lahirnya kebijakan yang Inklusif yang ditujukan/diperuntukkan untuk menyerap aspirasi pengusaha, dengan cara menurunkan penyerapan aspirasi masyarakat dan akademisi dapat mengakibatkan kebijakan yang tidak mencerminkan kebutuhan riil rakyat. Di mana rakyat memerlukan akomodasi aspirasi untuk peningkatan Pembangunan dan kesejahteraan, pada sisi lain akademisi memerlukan sumber dana yang cukup untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bukan saja kepada rakyat tetapi bangsa dan negara. Potensi korupsi dan penyalahgunaan anggaran sangat mudah terjadi, sebab kurangnya transparansi dalam penggunaan dana reses berisiko menimbulkan penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan pribadi atas kompromi-kompromi tertentu dengan pengusaha. World Governance Indicators (World Bank, 2023) menunjukkan terdapt korelasi positif antara akuntabilitas legislatif dan kualitas tata kelola pemerintahan Ketika tranparansi sangat buruk dan ini didukung oleh hasil survey LSI (2024) menemukan bahwa 68% masyarakat merasa DPR lebih berpihak pada pengusaha daripada aspirasi rakyat biasa.

Kesimpulan

Ketimpangan penyerapan aspirasi akademisi dan rakyat dibandingkan pengusaha oleh DPR, mencerminkan masalah serius dalam representasi keberpihakan demokrasi dan peningkatan kesejahteraan di Indonesia. Peningkatan dana reses seharusnya diikuti dengan peningkatan akuntabilitas, transparansi, dan komitmen untuk mendengarkan semua lapisan Masyarakat dengan adil, bukan hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu. Perilaku DPR seperti ini berisiko akan kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik.

Referensi Regulasi:

  1. UU No. 17 Tahun 2003** tentang Keuangan Negara yang menekankan prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

  2. Peraturan BPK No. 1 Tahun 2021 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

  3. Sosialisasi Hak Beraspirasi Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara menyampaikan aspirasi secara efektif kepada DPR.

  4. Pendampingan Hukum Memberikan pendampingan hukum dan advokasi bagi masyarakat yang aspirasinya tidak ditindaklanjuti.

  5. Konsep Legal Empowerment (UNDP, 2012) tentang pemberdayaan masyarakat melalui akses terhadap hukum dan keadilan.

  6. Teori Partisipasi Politik(Verba, et al., 1995) yang menekankan pentingnya kesetaraan akses dalam proses politik.

Daftar Pustaka:

  1. Mills, C. W. (1956). The Power Elite

  2. Pitkin, H. F. (1967). The Concept of Representation

  3. Transparency International (2023). Corruption Perceptions Index

  4. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm

  5. World Bank (2023). World Governance Indicators

  6. UNDP (2012). Legal Empowerment for the Poor

  7. Verba, S., et al. (1995). Voice and Equality: Civic Voluntarism in American Politics

  8. Perludem (2024). Studi Akuntabilitas Anggaran DPR

  9. LSI (2024). Survei Persepsi Publik terhadap Kinerja DPR