Hukuman yang Layak bagi Koruptor: Menjawab Kontroversi Keputusan Hakim

Jayadi Sirun

12/31/20244 min read

Indonesia, sampai saat ini belum terbebas dari perilaku korupsi para pejabat dan kroninya termasuk para pengusaha yang memiliki kecenderungan memperoleh keuntungan secara illegal yang dilakukan dengan cara KKN dengan para pejabat. Perbuatan itu bukan hanya merugikan keuangan negara atau mengancam perekonomian negara tetapi menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia, sebab uang yang masuk ke kas negara yang bersumber dari pajak dan pajak sesuai dengan undang-undang dasar 1945, yaitu untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Pasal 33 yang menyatakan bahw ) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang anyak dikuasai oleh negara dan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sampai saat ini Amanah undang-undang tersebut belum diselenggarakan secara konsekwen, sehingga kondisi bangsa dan negara serta rakyat sebagaimana kita lihat pada saat ini.

Dalam kasus tindak pidana korupsi, dari berbagai macam keputusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi, memberikan hukuman kepada koruptor, yang sering menimbulkan berbagai macam pertanyaan dari masyarakat, mengapa dan bagaimana hukuman tersebut tidak dapat membuat jera pelaku tindak pidana korupsi atau calon pelaku tidak pidana korupsi ? Sesuai dengan undang- (UU) Nomor 48 Tahun 2009 mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, Kekuasaan kehakiman dilakukan untuk menegakkan hukum dan keadilan dan Hakim wajib memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Aspirasi dan keluh kesah masyarakat bahwa sentilan kepala negara terhadap setiap keputusan Hakim yang berhubungan vonis terdakwa perkara tindak pidana tidak sebanding dengan kerugian negara dan rakyat. Ditimbulkan akibat perbuatan koruptor.

Mengutip dari https://katadata.co.id/infografik/612da23f3cc43/kontroversi-vonis-untuk-koruptor, Di antaranya keputusan kasus besar yang dianggap kontroversi oleh masyarakat, Misalnya, vonis terhadap mantan menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Jaksa Pinangki, Djoko Tjandra, edhy Probowo dan yang terakhir vonis hukumna terhadap Harvey Moeis. Dari putusan hakim terhadap Harvey, bahkan presiden Prabowo Subianto meminta para aparat hukum membersihkan diri sebelum dibersihkan rakyat. Presiden Prabowo meminta para hakim memberi hukuman yang setimpal kepada para koruptor, Bila sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan dan menga jam keuangan negara penegak hukum tidak boleh main main dan menjatuhkan hukuman yang ringan, yang justru akan menjadi jurisprudensi para guru tentang calon koruptor.

Setiap Vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor, yang tidak mencerminkan rasa keadilan, rasa kemanusiaan dan jauh dari nilai-nilai hukum sehingga tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan calon pelaku tidak pidana korupsi, akan dicatat oleh rakyat dan sejarah bahwa penegakan hukum patut diduga telah melakukan suatu pengingkaran terhadap amanah UU dasar 1945 dan perintah UU korupsi Nomor 30 Tahun 2022. Para Penegak hukum perlu mencatat nanti ingatkan Kembali bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa, sekecil apapun perannya ia tetap merupakan bagian dari system tindak pidana korupsi yang akan menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara dan mengancam sistem keuangan negara secara berkelanjutan, serta menyengsarakan seluruh masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan undang-undang tindak pidana korupsi, perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, yaitu setiap perbuatan penyelnggara negara, korparasi atau organ korporasi, pegawai negeri sipil, yang Merugikan keuangan negara, melakukan Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan atas nama jabatan public, Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan dan Gratifikasi baik yang dilakukan dengan inisiatif sendiri, dilakukan secara Bersama-sama, turut serta melakukan serta perbuatan perbarengan untuk melakukan tindak pidana yang merugikan dan mengancam keuangan negara.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi, sesuai pasal dua undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tidak pidana korupsi bahwa ” setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun paling lama 20 tahun denda paling sedikit 200.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000” . Pelanggaran terhadap pasal-pasal tindak pidana, yang merupakan bagian dari salah satu tindak pidana korupsi seperti pasal, 209, pasal 210, Pasal 387 atau Pasal 388 dan seterusnya diancam pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 20 tahun atau seumur hidup. Undang-undang tidak pidana tidak berlaku terhadap setiap orang yang menerima gratifikasi yang nilainya di bawah 5.000.000.

Apabila dicermati, ketentuan pemidanaan di dalam undang-undang tindak pidana korupsi, belum menetapkan penjatuhan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang merugikan negara sangat besar, lahirlah peraturan mahkamah Akung, yang dijelaskan dalam lampiran PERMA 1/2020 (hal. 8), penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi kategori paling berat dan memiliki kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi bagi terdakwa, rentang pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa selama 16 sampai dengan 20 tahun.

Secara Yuridis, kewenangan untuk menghitung dan menetapkan kerugian negara terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK bahwa BPK diberi kewenangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun lalai oleh penyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Oleh sebab itu hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku tindak pidana korupsi, di samping menggunakan alat bukti yang sah sebagai argument hukum, hakim perlu mendasarkan perhitungan besar-kecilnya kerugian negara atas tidak pidana korupsi yang dilakukan oleh BPK.

Secara Kontektual/substansi, perhitungan kerugian negara, tidak seharunya hanya mendasarkan atas jumlah nominal uang yang dikorupsi oleh koruptor, penegak hukum, seperti jaksa dan hakim tipikor perlu mempertimbangkan kerugian langsung yang derita rakyat, seperti ketimpangan penghasilan, terhambatnya pembangunan, terlantarnya anak miskin untuk memperoleh kesempatan pendidikan, melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional serta dampak sosial lain yang diakibatkan secara langsung dari sejumlah uang yang dikorupsi.

Penjatuhan hukuman, disamping mempertimbangkan aspek yuridis, kontekstual juga mempertimbangkan pendapatan layak bagi koruptor, sebagai contoh Ketika seorang koruptor memiliki penghasilan setiap bulan 50.000.000, dia melakukan tindak pidana korupsi kekayaannya atau pendapatannya meningkat menjadi 500.000.000 setiap bulannya, maka hitungan pidana penjara yang perlu dijatuhkan dilakukan dengan cara menghitung deret aritmatika dikurangi jumlah penghasilan layak normative setiap bulan. Apabila nilai akumulasinya melebihi 20 tahun, maka koruptor tersebut layak untuk dijatuhi hukuman seumur hidup dan hukuman mati. (Jayadi Sirun)

Berapa Hukuman Yang Layak Bagi Koruptor ?