Hukum, Assement, Forensik dan Konsultan Pendidikan
Delimatis Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi Tentang Kerusuhan di Media Sosial
Dr.Drs. Jayadi Sirun, MH.
5/2/20254 min read


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan yang menyentuh isu penting mengenai kerusuhan yang terjadi di media sosial atau pada ruang digital. Dalam keputusan tersebut, MK menyatakan bahwa kerusuhan yang terjadi pada platform digital tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, selama tidak dimaknai sebagai suatu kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik. Pernyataan ini menyentak publik dan sekaligus menciptakan efueria sebagian publik untuk menyatakan kebebasan pendapat di ruang publik. Dalam konteks negara hukum, perkembangan sosial dan hukum harus berlandaskan pada asas, prinsip dan substansi hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa pembukaan undang-undang dasar 1945 pada alinea ke 4 bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala perbuatan seseorang, pejabat, penegak hukum, lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara harus mencerminkan rasa kemanusiaan yang adil dan berperilaku beradab.
Ketua mahkamah konstitusi (MK), Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara gugatan nomor 115/PUU-XXII/2024 di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025). "Menyatakan dalam keputusannya bahwa 'kerusuhan' yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hakim menyatakan bahwa " kerusuhan di media sosial tidak memiliki parameter yang jelas, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ' kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber,'" ujar dia melanjutkan.
Dalam amar pertimbangan dalam putusan yang menyatakan bahwa, kerusuhan pada ruang digital/cyber tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seseorang untuk dapat diancam pidana atau perdata, merupakan argument yang kurang tepat dan tidak beralasan hukum. Perbuatan jahat ( atau kejahatan cyber) pada era teknologi digital yang progresif dapat dengan mudah dilakukan pada ruang cyber (maya), bukan tanpa alasan, perbuatan tersebut sengaja dilakukan untuk menghindari bertemu langsung atau kontak fisik, dapat dilakukan dari mana saja, sengaja untuk menyembunyikan identitasnya dan untuk menghilangkan alat bukti atau menyamarkan identitas dengan inisial tertentu.
Unsur Niat jahat dan perbuatan jahat telah nyata ada, dilakukan dengan sengaja untuk dilakukan pada ruang digital dan dengan sengaja untuk menghindari ancaman hukum. Putusan perihal tempat (ruang/dolus) yang mensyaratkan timbul kerusuhan yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik dapat dikategorikan sebagai argument yang mengada-ada. Prinsip bahwa kejahatan dapat dilakukan pada ruang metafisik atau pada ruang fisik, keduanya dapat menimbulkan kerusuhan pada ruang metafisik (digital) yang berpotensi melahirkan kerusuhan pada ruang fisik secara masif. Prinsip bahwa kerusuhan sosial, politik, ekonomi atau kerusuhan dalam bentuk lain pada dasarnya dimulai dari perbuatan metafisik seperti pembentukan opini, dan sejenisnya. Setiap perbuatan melawan atau bertentangan dengan ideologi, undang-undang dasar 1945 dan undang-undang hukum pidana harus dengan tegas tidak boleh lagi ditafsirkan.
Ruang atau tempat (dolus) kejahatan baik yang dilakukan pada ruang virtual atau fisik sepanjang perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang hukum pidana seharusnya tidak menghalang berlakunya ancaman pidana terhadap pelaku kejahatan. Perkembangan teknologi dan teknologi informasi dan telekomunikasi, merupakan ruang yang efisien dan efektif, pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksi jahatnya. Ketika perbuatan metafisik, seperti ujar kebencian, penistaan, merendahkan martabat dan derajat seseorang di muka umum (cyber) baik dilakukan seseorang atau sekelompok orang, yang subtansinya mengandung dengan maksud kejahatan, tidak boleh ada unsur pemaaf. Pemilihan unsur tempat merupakan bagian dari rencana jahat, oleh sebab itu tidak boleh lagi membedakan apakah tempat kejahatan itu dilakukan pada ruang virtual atau ruang fisik.
Frasa kerusuhan harus dapat dimaknai sebagai kerusuhan yang bersifat metafisik dan kerusuhan yang bersifat fisik, sepanjang keduanya merupakan perbuatan melanggar hukum pidana, pelakunya dapat diancam dengan pidana. Bentuk-bentuk perdebatan atau adu argument, saling sanggah atau perang dalil bukan kerusuhan melainkan ruang untuk memperoleh/menyatakan kemerdekaan untuk berpendapat dimuka umum. Lain halnya apabila perbuatan seperti terror kondisi psilologis, rekayasa sosial untuk penipuan, ujar kebencian, saling serang yang dimaksudkan/sengaja untuk merendahkan harga diri, martabat atau membunuh karakter seseorang pada ruang cyber/digital harus dimaknai sebagai kejahatan kategori delik aduan.
Indonesia memiliki falsafah Pancasila dan undang-undang dasar 1945 dimana mengamanhkan bagi setiap orang untuk bertakwa (berketuhanan) dan menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, bebudaya luhur serta kearifan local, sebagaimana diatur dalam Alinea ke empat undang-undang dasar 1945 dan Pancasila sila kedua. Secara prinsip informasi dapat disebarkan melalui media elektronik dan atau non digital. Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur bahwa setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahui memuat pemberitaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Hakim MK Arsul Sani mengatakan, menilai bentuk kerusuhan dalam UU ITE tidak ada parameternya yang jelas, kemudian MK menyebut kata "kerusuhan" Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. "Sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan' adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber," kata Arsul Sani. Parameter kerusuhan harus dilihat dan dicermati dampak dari pada penyebaran substansi informasi itu sendiri, tidak selalu kerusuhan memiliki wujud fisik, contoh seseorang menyebarkan berita bohong atau palsu tentang kondisi keuangan negara atau industry perbankan, menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dan industry perbankan, yang menyebabkan ekonomi kacau.
Bentuk kerusuhan dan keonaran harus dibedakan dengan perbuatan mengkritisi kebijakan pemerintah, kebijakan hakim, bijakan politik atau kebijakan bukit atau mengkritik terhadap perilaku sekelompok orang yang tidak sesuai dengan norma hukum dan ada. Perkembangan IPTEK dan teknologi digital yang berkembang pesat memungkinkan masyarakat mengakses berbagai macam informasi yang tersedia secara luas, dapat disebarluaskan melalui berbagai media sosial. Pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang public bukan merupakan kejahatan, harus dipahami sebagai pengejawantahan dari partisipasi publik yang memiliki kedaulatan.
Kerusuhan di media sosial sering kali dibarengi dengan penyebaran informasi yang tidak akurat dan provokatif untuk maksud dan tujuan tertentu. Informasi bohong/plasu dapat memicu respons yang beragam dari masyarakat, dapat menimbulkan perdebatan sosial tanpa batas, menguras waktu, biaya dan kontra produktif, harus dimaknai sebagai kerusuhan sosial, sekalipun bersifat virtual. Namun, adanya keputusan MK memberikan pemahaman bahwa meskipun kerusuhan ini dapat menciptakan kegaduhan di dunia maya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menghukum seseorang. Penting untuk membedakan antara demonstrasi pendapat, kritik dan berdalil di ruang digital dengan penyebaran berita bohong, fitnah, ujar kebencian dan menghina/ merendahkan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.
Hukum untuk mengontrol keseimbangan sosial, menjaga ketertiban, keselamatan, kemanfaatan dan keberlangsungan hidup umum. Kebebasan berekspresi di berbagai macam media sosial bahkan hak individu atau sekelompok orang untuk menyuarakan pendapat mereka sepanjang tidak merugikan pihak tertentu dan melanggar undang-undang, harus diber tempat seluas-luasnya. Prinsip bahwa kerusuhan terjadi di media sosial dan juga dapat terjadi pada meet ruang publik (fisik), keduanya merugikan waktu, energi dan produktivitas, seharusnya ditekan serendah mungkin agar Indonesia menjadi negara yang adil, makmur, beradab, maju dan modern di segala bidang. Penting dan perlu interpretasi yang bijak terhadap aksi-aksi di ruang digital, yang memungkinkan masyarakat menggunakan media sosial sebagai alat pembelajaran dan diskusi konstruktif, tanpa harus khawatir akan konsekuensi hukum yang menakutkan.