Penelitian ilmiah atas undangundang (uu) advokat terkait dengan problem hukum, sanksi putusan, penegakan kode etik advokat di Indonesia. Permasalahan ini menarik dan perlu dilakukan kajian hukum seksama secara detail, mengingat peran strategis seorang advokat sebagai pembela hak hukum seseorang memiliki fungsi dan peran sebagaimana penegak hukum.
Advokat profesi yang yang melekat secara perorangan atau kelompok yang bernaung dalam organisasi advokat nasional. Hakim dalam UU Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian memiliki, Markas Besar Kepolisian, sementara Advokat meskipun telah terbentuk KKAI sebagai badan hukum Markas Besar Advokat belum dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Ada beberapa faktor di antaranya kemauan politik ( political will ) dari negara untuk memberikan ruang sebagaimana penegak hukum lainnya.
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir yang jernih bagi kita semua yang memiliki, kepedulian atas pemberdayaan advokat sebagai salah satu komponen penegak hukum dalam menegakan keadilan. Metodalogi penelitian ilmiah berupa kajian, historis atau historika, sosiologis, dan juridis sebagai satu kesatuan frame hukum positif.
Penelitian ini secara akademis dapat menampilkan nilai yang terukur, transparan dengan pendekatan logis atau logika berpikir (legal resening), sehingga kesimpulan yang diambil, tidak menggenalisir, namun lebih sistimatik berdasarkan ukuran, berdasarkan norma-hukum, yang hidup dan berlaku. Penelitian ilmiah tersebut, menjadi penting mengingat kedudukan seorang advokat di Indonesia, berdasarkan undang-undang advokat, adalah sebagai seorang penegak hukum, sebagaimana, hakim, jaksa, dan polisi.[1]
Dalam kaitannya dengan putusan kode etik, yang dijatuhkan oleh organisasi advokat atau dewan kehormatan advokat, terhadap seorang advokat, yang bernaung sebagai anggota di suatu organisasi advokat, pertanyaannya, apakah putusan yang dijatuhkan, kepada seorang advokat, memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga memiliki nilai eksekusi, sebagaimana putusan pengadilan, yang memiliki nilai hukum publik, yang ditaati oleh publik, dan juga oleh institusi kekuasaan negara, baik eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Pada bulan juli tahun 2022, media masa, baik cetak maupun online, dan juga media elektronik, telah memberitakan bahwa, seorang advokat senior, HOTMAN PARIS, dihukum oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Advokat, dengan sanksi skorsing 3 (tiga) bulan, berupa larangan berpraktek, sebagai Pengacara / Advokat. Pertanyaannya, apakah sanksi, yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Advokat oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) tersebut, memiliki derajat kepastian hukum, yang memiliki kekuatan hukum mengikat, bagi anggotanya (advokat), berdasarkan UU Advokat Nomor.18.Tahun 2003.
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, secara akademis perlu, meninjau legal standing, dari norma, atau ketentuan, tentang kode etik itu sendiri, sebagai landasan hukum (materiil), yang dapat digunakan, sebagai dasar hukum, untuk menghukum, seorang advokat, yang diduga melakukan pelanggaran, terhadap kode etik advokat, dalam menjalankan tugasnya, selaku advokat profesional. Secara tektual, berdasarkan hukum positif yang berlaku, yaitu undang-undang advokat, nomor 18 tahun 2003, telah ditegaskan dalam pasal 33 undang-undang advokat [1], dalam Pasal 33 tersebut dengan tegas disebutkan bahwa, Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”), yang telah ditetapkan, oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”) secara mutatis mutandis, sah dan berlaku.
Sehingga dengan demikian, Kodifikasi atas KEAI adalah merupakan landasan hukum materiil, yang dapat digunakan sebagai dasar hukum, guna menjatuhkan sangsi, kepada advokat, yang diduga melakukan, praktek pelanggaran kode etik dan KEAI sekaligus merupakan hukum positif yang berlaku, mengingat keberadaannya, telah diakui dan atau telah disahkan, oleh pembentuk undang-undang advokat, yang dibuktikan dengan adanya Pasal 33 UU Advokat. Setelah memiliki landasan hukum, baik formil-materiil, yaitu berupa, kodifikasi KEAI, tinjauan hukum berikutnya, organisasi advokat mana yang memiliki, domain dalam perspektif hukum publik, sehingga dapat menjatuhkan sangsi, terhadap advokat, yang melakukan dugaan, pelanggaran atas kode etik advokat.
Pasal 33 UU Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat berbunyi sebagai berikut : Kode Etik ini dinyatakan mutatis mutandis berlaku sampai dengan adanya ketentuan baru yang dibuat oleh organisasi advokat. Sebelum itu, masing-masing organisasi profesi advokat memiliki kode etik sendiri.
SE MARI KMA.445/VI/2003, perihal pelaksana UU Advokat nomor 18 tahun 2003.Surat Edaran tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan I. Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan tata Usaha Negara se-Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi SE MARI tersebut, secara tektual menyatakan : MA RI menyerahkan kewenangannya (levering) mjeliputi penerbitan kartu advokat oleh organisasi advokat, perpindahan atau mutasi advokat, wajib diberitaukan kepada Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), untuk mengawqasi dan mengangkat para advokat sesuai Undang-Undang Advokat.
KEAI Pasal 22 ayat (3) : Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah.
Pasal 22 ayat (1) : Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hu7kum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
Pasal 5 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat berperan sebagai penegqak hukum yang membantu mencari keadilan dan kepastian hukum serta melindungi hak asasi manusia dalam proses hukum.