Analisis Kekuatan Hukum Sanksi Putusan Kode Etik Advokat Menurut UUD No. 18 Tahun 2003

Analisis Kekuatan Hukum Sanksi Putusan Kode Etik Advokat Menurut UUD No. 18 Tahun 2003

Dr. Suhardi Somomoeljono, SH.,MH.

8/6/20249 min read

PENELITIAN UU ADVOKAT NOMOR 18 TAHUN 2003

TERKAIT PERMASALAN HUKUM APAKAH SANGSI PUTUSAN KODE ETIK ADVOKAT DI INDONESIA

MEMILIKI KEKUATAN HUKUM MENGIKAT UNTUK DAPAT DILAKSANAKAN EKSEKUSI[1]

Dr. Suhardi Somomoejono, SH.,MH.

Praktisi Hukum dan Lawyer Senior

Penelitian ilmiah atas undangundang (uu) advokat terkait dengan problem hukum, sanksi putusan, penegakan kode etik advokat di Indonesia. Permasalahan ini  menarik dan perlu dilakukan kajian hukum seksama secara  detail, mengingat peran strategis seorang advokat sebagai pembela hak hukum seseorang memiliki fungsi dan peran sebagaimana penegak hukum.

Advokat profesi yang yang melekat secara perorangan atau kelompok yang bernaung dalam organisasi advokat nasional. Hakim dalam UU Kehakiman, Kejaksaan  dan Kepolisian memiliki, Markas Besar Kepolisian, sementara Advokat meskipun telah terbentuk KKAI sebagai badan hukum Markas Besar Advokat belum dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Ada beberapa faktor di antaranya kemauan politik ( political will ) dari negara untuk memberikan ruang sebagaimana penegak hukum lainnya.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir yang jernih bagi kita semua yang memiliki, kepedulian atas pemberdayaan advokat sebagai salah satu komponen penegak hukum  dalam menegakan  keadilan. Metodalogi penelitian ilmiah berupa kajian, historis atau historika, sosiologis, dan juridis sebagai satu kesatuan frame hukum positif.

Penelitian ini secara akademis dapat menampilkan nilai  yang terukur, transparan dengan pendekatan logis atau logika berpikir (legal resening), sehingga kesimpulan yang diambil, tidak menggenalisir, namun lebih sistimatik berdasarkan ukuran, berdasarkan norma-hukum, yang hidup dan berlaku. Penelitian ilmiah tersebut, menjadi penting mengingat kedudukan seorang advokat di Indonesia, berdasarkan undang-undang advokat, adalah sebagai seorang penegak hukum, sebagaimana, hakim, jaksa, dan polisi.[1]

Dalam kaitannya dengan putusan kode etik, yang dijatuhkan oleh organisasi advokat atau dewan kehormatan advokat, terhadap seorang advokat, yang bernaung sebagai anggota di suatu organisasi advokat, pertanyaannya, apakah putusan yang dijatuhkan, kepada seorang advokat, memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga memiliki nilai eksekusi, sebagaimana putusan pengadilan, yang memiliki nilai hukum publik, yang ditaati oleh publik, dan juga oleh institusi kekuasaan negara, baik eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Pada bulan juli tahun 2022, media masa, baik cetak maupun online, dan juga media elektronik, telah memberitakan bahwa, seorang advokat senior, HOTMAN PARIS, dihukum oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Advokat, dengan sanksi skorsing 3 (tiga) bulan, berupa larangan berpraktek, sebagai Pengacara / Advokat. Pertanyaannya, apakah sanksi, yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Advokat oleh PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) tersebut, memiliki derajat kepastian hukum, yang memiliki kekuatan hukum mengikat, bagi anggotanya (advokat), berdasarkan UU Advokat Nomor.18.Tahun 2003.

Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, secara akademis perlu, meninjau legal standing, dari norma, atau ketentuan, tentang kode etik itu sendiri, sebagai landasan hukum (materiil), yang dapat digunakan, sebagai dasar hukum, untuk menghukum, seorang advokat, yang diduga melakukan pelanggaran, terhadap kode etik advokat, dalam menjalankan tugasnya, selaku advokat profesional. Secara tektual, berdasarkan hukum positif yang berlaku, yaitu undang-undang advokat, nomor 18 tahun 2003, telah ditegaskan dalam pasal 33 undang-undang advokat [1], dalam Pasal 33 tersebut dengan tegas disebutkan bahwa, Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”), yang telah ditetapkan, oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (“KKAI”) secara mutatis mutandis, sah dan berlaku.

Sehingga dengan demikian, Kodifikasi atas KEAI adalah merupakan landasan hukum materiil, yang dapat digunakan sebagai dasar hukum, guna menjatuhkan sangsi, kepada advokat, yang diduga melakukan, praktek pelanggaran kode etik dan KEAI sekaligus merupakan hukum positif yang berlaku, mengingat keberadaannya, telah diakui dan atau telah disahkan, oleh pembentuk undang-undang advokat, yang dibuktikan dengan adanya Pasal 33 UU Advokat. Setelah memiliki landasan hukum, baik formil-materiil, yaitu berupa, kodifikasi KEAI, tinjauan hukum berikutnya, organisasi advokat mana yang memiliki, domain dalam perspektif hukum publik, sehingga dapat menjatuhkan sangsi, terhadap advokat, yang melakukan dugaan, pelanggaran atas kode etik advokat.

PEMBAHASAN

LEGAL STANDING ORGANISASI ADVOKAT

Secara historika, perlu diperhatikan bahwa,setelah lahirnya UU Advokat tahun 2003, Mahkamah Agung RI, telah mengeluarkan kebijakan hukum (legal policy), berupa Surat Edaran Nomor KMA/445/VI/2003, perihal : Pelaksana UU Nomor 18 tentang Advokat, dengan menetapkan bahwa, yang bertindak selaku pelaksana dari undang-undang advokat adalah KKAI dan telah ditegaskan dalam surat edaran tersebut yang dimaksut dengan organisasi advokat adalah KKAI [1], dengan demikian jelas bahwa, dalam perspektif hukum publik, yang memiliki dasar hukum, yang dapat bertindak, selaku institusi advokat, yang dapat melakukan, atau menyelenggarakan peradilan kode etik, adalah organisasi profesi advokat yang bernama KKAI. Mengingat keberadaan KKAI, selaku organisasi profesi advokat, dalam perspektif, sistem peradilan Indonesia (criminal justice sistem), belum diberdayakan, akibatnya peradilan kode etik, secara tafsir bebas, dilakukan oleh organisasi advokat, diluar KKAI, yang tidak memiliki frame, selaku hukum publik, namun hanyalah memiliki frame hukum privat.

Sebagai konsekwensi dari hukum privat akibatnya putusan kode etik, atas sangsi yang dijatuhkan, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tidak memiliki kepastian hukum, untuk dapat ditaati, sebagaimana halnya, putusan kode etik lainnya, seperti kedokteran, militer, kepolisian, kehakiman, kejaksaan.Dengan demikian secara logika hukum, yang memiliki kapasitas, dan kwalitas selaku regulator nasional, adalah KKAI, bukan organisasi advokat yang lain.

Dalam rangka mempertegas, argumentasi argumentasi secara hukum, mengapa hanya KKAI yang memiliki, frame dalam perspektif hukum publik, hal tersebut lebih jauh telah ditegaskan, dalam Pasal 22 ayat (3) KEAI, bahwa yang menjadi anggota dari KKAI adalah organisasi-organisasi advokat, yang diwakili dalam kepengurusan secara exd-officio oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral, dari organisasi advokat [2], dengan demikian secara hukum, berdasarkan perintah dari KEAI, KKAI selaku organisasi advokat, pelaksana dari UU Advokat, memiliki fungsi regulator secara nasional, terhadap advokat. Dan organisasi advokat diluar KKAI, memiliki fungsi operator, sebagai bagian dari pelimpahan wewenang, yang diberikan oleh KKAI.

Fungsi KKAI telah jelas dirumuskan Pada Pasal 22 ayat (3) KEAI, Komite Kerja Advokat Indonesia, tegas telah mengatur, yaitu mewakili, organisasi-organisasi profesi tersebut, dalam ayat (1)[3] , pasal ini, sesuai dengan pernyataan bersama, [1] Secara tektual sesuai dengan bunyi dari SE MARI KMA.445/VI/2003, perihal pelaksana UU Advokat nomor 18 tahun 2003.SE tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan tata Usaha Negara se-Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi SE MARI tersebut, secara tektual menyatakan : MA RI menyerahkan kewenangannya (levering) mjeliputi penerbitan kartu advokat oleh organisasi advokat, perpindahan atau mutasi advokat, wajib diberitaukan kepada Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), untuk mengawqasi dan mengangkat para advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

[2] Secara tektual isi KEAI Pasal 22 ayat (3) dapat dibaca sebagai berikut : Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah.

[3] Secara tektual isi KEAI Pasal 22 ayat (1) dapat dibaca sebagai berikut : Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh KKAI, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hu7kum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.

tertanggal 11 februari 2002, dalam hubungan, kepentingan profesi advokat, dengan lembaga-lembaga negara, dan pemerintah. Memperhatikan Pasal 22 ayat (1) KEAI, secara hukum jelas bahwa KEAI, telah memiliki landasan, baik secara historis, sosiologis, yuridis, sebagai ketentuan hukum, sah dan legitimate, sebagai Institusi Advokat, yang memiliki frame, sebagai hukum publik.

Bahwa kebebasan bagi para Advokat, untuk memilih Organisasi Advokat sebagai naungan keanggotaannya, merupakan bentuk demokrasi kebebasan memilih dalam berorganisasi, hal tersebut merupakan kehendak pembentuk UU Advokat, dalam rangka menjaga kualitas Organisasi Advokat. Dalam keadaan seperti itu, apabila suatu Organisasi Advokat, tidak mampu menjaga kualitas organisasinya, kapanpun, dapat ditinggalkan sewaktu-waktu oleh anggotanya. Kembali kepada perintah dari KEAI, bahwa seorang advokat, bebas memilih, untuk menjadi anggota, dari organisasi advokat yang ada. Meskipun seorang advokat, bernaung dibawah organisasi advokat manapun, sepanjang organisasi advokat, merupakan anggota KKAI, jika advokat melakukan penyimpangan praktek profesi, melakukan pelanggaran kode etik, tetap wajib dapat dihukum, melalui Dewan Kehormatan Advokat KKAI.

Kebebasan advokat, memilih organisasi advokat, telah diatur dalam Pasal 22 ayat (2) KEAI [1], sehingga dari tataran normatif hukum, telah tersedia secara khomprehensif, baik struktur hukumnya, dan juga substansi hukumnya, yang menjadi persoalan, mengingat Institusi Advokat (baca, KKAI), dalam perspektif Sistem Peradilan Indonesia, belum diakui keberadaannya, bahkan pada tataran yudikatif, dalam sistem peradilan pidana ( criminal justice sistem), akibatnya advokat, selaku penegak hukum, kehilangan arah dalam menyatukan suatu kebijakan, terkait dengan fungsi penegakan hukum, dalam kaitannya dengan pembangunan negara hukum.

Hal tersebut terjadi disebabkan KKAI, dalam fungsinya selaku regulator advokat, tidak diberdayakan, oleh pemerintah (eksekutif), sehingga advokat, dalam menjalankan fungsinya selaku penegak hukum, tidak dapat dikontrol dalam frame prilaku, sesuai dengan kehendak KEAI.Pembiaran terhadap keadaan tersebut, lambat laun, akan merugikan negara, terutama dalam pencaian, pembentukan negara hukum, sebagaimana telah digariskan oleh UUD 1945.

SUMBER DATA YANG DITELITI

  1. Pasal 33 UU Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat berbunyi sebagai berikut : Kode Etik ini dinyatakan mutatis mutandis berlaku sampai dengan adanya ketentuan baru yang dibuat oleh organisasi advokat. Sebelum itu, masing-masing organisasi profesi advokat memiliki kode etik sendiri.

  2. SE MARI KMA.445/VI/2003, perihal pelaksana UU Advokat nomor 18 tahun 2003.Surat Edaran tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan I. Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan tata Usaha Negara se-Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi SE MARI tersebut, secara tektual menyatakan : MA RI menyerahkan kewenangannya (levering) mjeliputi penerbitan kartu advokat oleh organisasi advokat, perpindahan atau mutasi advokat, wajib diberitaukan kepada Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), untuk mengawqasi dan mengangkat para advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

  3.  KEAI Pasal 22 ayat (3) : Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah.

  4. Pasal 22 ayat (1) : Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hu7kum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.

  5. Pasal 5 UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat berperan sebagai penegqak hukum yang membantu mencari keadilan dan kepastian hukum serta melindungi hak asasi manusia dalam proses hukum.

KESIMPULAN

  1. Bahwa, problim Hukum, atas sangsi terhadap seorang advokat, yang telah dijatuhi putusan, dalam bentuk pelanggaran kode etik, oleh dewan kehormatan advokat yang berasal dari organisasi advokat, diluar Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI), tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan tidak memiliki daya paksa, untuk dapat dilakukan eksesusi (tidak memiliki kepastian hukum).

  2. Bahwa agar supaya Putusan Kode Etik yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Advokat (DKH) memiliki kekuatan hukum yang mengikat wajib segera dibentuk Dewan Kehormatan Advokat Komite Kerja Advokat Indonesia (DKH KKAI) dalam rapat bersama, yang secara Ex-Officio, diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral dari seluruh Organisasi Advokat yang secara definitif telah diakui oleh UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003.

  3. Bahwa Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) adalah Organisasi Advokat Indonesia.

  4. Bahwa sebagai Pelaksana atas UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 adalah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

  5. Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat dalam hal ini adalah KKAI, untuk mengawasi dan mengangkat para advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

REKOMENDASI

  1. 8 (delapan) organisasi advokat yang lahir sebelum UU Advokat di undangkan sebagaimana secara definitif telah disebutkan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 untuk segera membentuk Kepengurusan KKAI Nasional yang secara ex officio diwakili oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jendral dan segera membentuk Dewan Kehormatan Advokat dan Komisi Pengawas Advokat Indonesia

  2. 8 (delapan) organisasi advokat sebagaimana secara definitif telah disebutkan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 adalah anggota tetap dari Badan Organisasi Profesi Advokat dalam hal ini adalah KKAI.

  3. Seluruh organisasi advokat yang lahir sebelum UU Advokat diundangkan tahun 2003 dapat menjadi anggota luar biasa dari Badan Organisasi Profesi Advokat dalam hal ini adalah KKAI.

  4. Untuk sementara waktu 8 (delapan) dan / atau salah satu organisasi profesi advokat yang lahir sebelum UU Advokat di undangkan sebagaimana secara definitif telah disebutkan dalam UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dapat membentuk sekretariat bersamaI. Komite Kerja Advokat Indonesia (SEKBER KKAI) di Jakarta.

Jakarta 6 Agustus Tahun 2024

Hormat Kami

Salah satu pendiri / deklarator KKAI

TTD

Advokat Dr.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.,M.H.

Daftar Pustaka

  1. Bahwa penelitian dengan tema “Penelitian UU Advokat Nomor 18 Tahun 2003 terkait permasalahan hukum apakah sanksi atas putusan Kode Etik Advokat di Indonesia sudah memiliki kekuatas hukum yang mengikat untuk dapat dilaksanakan eksekusi”. Bahwa penelitian tersebut secara independen telah dibiayai oleh Perserikatan Ahli Hukum Indonesia (PERKAHI), berdasarkan surat penunjukan guna melakukan penelitian pada tanggal 10 Mei Tahun 2024.Dan, hasil penelitian telah diserahkan kepada PERKAHI sebagai laporan pertanggungjawaban atas hasil laporan penelitian.

  2. Pasal 5 undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat berperan sebagai penegqak hukum yang membantu mencari keadilan dan kepastian hukum serta melindungi hak asasi manusia dalam proses hukum.

  3. Secara tektual Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :Kode Etik ini dinyatakan mutatis mutandis berlaku sampai dengan adanya ketentuan baru yang dibuat oleh organisasi advokat. Sebelum itu, masing-masing organisasi profesi advokat memiliki kode etik sendiri.

  4. Secara tektual sesuai dengan bunyi dari SE MARI KMA.445/VI/2003, perihal pelaksana UU Advokat nomor 18 tahun 2003.SE tersebut ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan tata Usaha Negara, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan tata Usaha Negara se-Indonesia tanggal 25 Juni 2003, isi SE MARI tersebut, secara tektual menyatakan : MA RI menyerahkan kewenangannya (levering) mjeliputi penerbitan kartu advokat oleh organisasi advokat, perpindahan atau mutasi advokat, wajib diberitaukan kepada Badan yang disebut Organisasi Profesi Advokat (dalam hal ini KKAI), untuk mengawqasi dan mengangkat para advokat sesuai Undang-Undang Advokat.

  5. Secara tektual isi KEAI Pasal 22 ayat (3) dapat dibaca sebagai berikut : Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai dengan pernyataan bersama tertanggal 11 februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi advokat dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintah.

  6. Secara tektual isi KEAI Pasal 22 ayat (1) dapat dibaca sebagai berikut : Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh KKAI, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hu7kum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat / Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi advokat di Indonesia tanpa terkecuali.

  7. Secara tektual isi KEAI Pasal 22 ayat (2) dapat dibaca sebagai berikut : Setiap advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.