Hukum, Assement, Forensik dan Konsultan Pendidikan
Signifikansi Alat Bukti yang Sah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Alat bukti yang sah dalam undang-undang hukum acara pidana harus merepresentasikan wujud perbuatan seseorang
REZIM ALAT BUKTI
Jayadi Sirun


Signiifikasi Alat Bukti RUU-KUHAP
Dalam suatu peristiwa yang diduga merupakan perbuatan melawan hukum pidana (materriil) dan telah menjadi delik pidana maka pelakunya dapat dituntut dengan ancaman hukuman tertentu. Agar pelakunya dapat dituntut untuk dimintai pertanggung jawaban atas perbuatanya, harus berdasarkan alat bukti otentik valid yang diperoleh secara sah atau tidak melawan hukum.
Substansi terpenting dalam pembuktian suatu perkara (delik) adalah terletak pada kekuatan alat bukti, apakah memiliki nilai kriminalistik yang dapat digunakan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa atau sebaliknya berdasarkan keyakinan subjektif penegak hukum. Alat bukti dapat dimaknai sebagai bukti atas perbuatan yang digunakan sebagai alat untuk membuktikan sesuatu yang dituduhkan sedemikian hingga perkara itu menjadi terang, dan diperoleh bukti hubungan antara bukti, tempat di mana peristiwa itu terjadi, pelaku dan korban terbukti.
Bukti adalah jejak, bekas, tanda atau keadaan dari suatu perbuatan metafisik, perbuatan yang memiliki wujud fisik dan perbuatan yang dilakukan dalam format/platform digital (virtual) yang dilakukan oleh seseorang. Contoh ketika seseorang melihat dan mendengar suatu peristiwa merupakan bukti yang jejaknya terekam/disimpan di dalam daya ingat otak saksi, perbuatan menganiaya, memukul, mengambil dan sebagainya merupakan perbuatan yang memiliki wujud fisik dan perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik (digital), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukti itu adalah bahan (materi) uji.
Sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, seseorang tidak dapat dituntut kecuali dengan minimal dua alat bukti yang otentik dan tervalidasi cara memperoleh alat bukti dimaksud tidak bertentangan dengan prosedur hukum. Dengan demikian alat bukti yang sah adalah alat bukti yang diperoleh secara sah menurut ketentuan hukum acara, otentik, tidak ada rekayasa, dan telah melalui serangkaian pemeriksaan secara laboratoris.
Subtansi Alat bukti sebagaimana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP), Pasal 222 (1) Alat bukti terdiri atas (a) Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). surat; (d) keterangan Terdakwa: (e). barang bukti; (f) bukti elektronik; dan (f). segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum.
Apakah substansi alat bukti tersebut telah memenuhi regim alat bukti, yang terdiri atas bukti fisik, fisik dan digital (virtual), apabila dicermati masih sangat absurd dan dapat menimbulkan kebingungan, sehingga akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Keterangan saksi, harus dimaknai sebagai keterangan yang diberikan oleh yang melihat secara langsung, merasakan, mendengar, mengetahui dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Dengan demikian saksi dapat dirumuskan menjadi saksi mata, saksi pelaku, saksi korban dan saksi mahkota. Dalam prinsip pembuktian secara seimbang dalil saksi korban, saksi mata, saksi pelaku dan saksi mahkota. Dengan prinsip ini seharusnya rumusan alat bukti yang berhubungan dengan keterangan para saksi, dikelompokkan menjadi satu nomenklatur yaitu keterangan saksi.
Alat bukti surat, sebagaimana Pasal 222 (1) hurup (c), dijelaskan Pasal 225 dalam RUU KUHAP yang dimaksud surat adalah berita acara dan surat lain yang membuat tentang keterangan saksi, surat yang dibuat oleh pejabat yang berhubungan dengan ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawab pejabat tersebut, surat keterangan ahli dan surat lain. Perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan surat adalah text yang dapat berupa huruf, angka, symbol, tanda-tanda baca yang substansinya berisi suatu pesan, berita, pernyataan atau penetapan, dan Keputusan atau kebijakan yang merepresentasikan proses pemikiran (logic proses) seseorang yang ditulis pada pada permukaan kertas kertas dan atau media platform digital. Dalam konteks alat bukti surat harus berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan suatu perbuatan yang diduga dengan tindak pidana.
Alat bukti barang bukti, sebagaimana dimaksud pada Pasal 222 (1) hurup (e), sebagaimana dijelaskan pada pasal Pasal 227 mencakup (a). alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana; (b) alat atau sarana yang menjadi objek tindak pidana; dan/atau dan (c). aset yang merupakan hasil tindak pidana. Barang bukti dan bahan bukti (BB), memiliki konstek, sunstansi dan wujud yang berbeda, contoh dan suatu peristiwa seseorang menggunakan alat atau sarana yang digunakan untuk melukai seseorang, atau merusak satu objek tertentu, maka bukti perbuatan bukan hanya alat dan sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan tetapi juga produk kejahatan obyek kejahatan, dapat berupa alat, sarana, tubuh, anatomo tubuh, cairan tubuh, dan lain sebagainya.
Alat bukti yang berupa “segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian pada pemeriksaan di sidang pengadilan sepanjang diperoleh secara tidak melawan hukum”, sebagaimana dimaksud pada Pasal 222 (1) hurup (g), seharusnya bukan merupakan alat bukti sebab rumusan substansi undang-undang tidak boleh menimbulkan berbagai multitafsir atau bias yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat disalahgunakan untuk kepentingan atau tujuan tertentu. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa prinsip bukti itu hanya ada tiga, yaitu bukti metafisik, bukti fisik dan bukti digital (virtual).